Bedhaya Ketawang dan Segala Ceritanya

Oleh : Bayu kartika

Sekitar satu minggu yang lalu tepatnya tanggal 27 Juni 2011 baru saja digelar salah satu acara besar di keraton Surakarta Hadiningrat, hayo..masih ingat tidak dengan acara itu? Tentu sudah baca tulisan kami yang terdahulu atau tepatnya tulisan kami sebelum ini….

Yupz….Tanggal 27 Juni 2011 di keraton Surakarta Hadiningrat baru saja menggelar acara tingalan Jumenengan Dalem SISKS Paku Buwono XIII Hangabehi. Ada yang istimewa dari puncak acara tersebut. Memang semua yang terselenggara dalam acara ini adalah acara-acara yang istimewa dan kental sekali dengan kebudayaan serta ajaran luhur kearifan budaya lokal khususnya budaya jawa, namun yang salah satu yang paling istimewa dari acara puncaknya adalah dengan digelarnya tari Bedhaya Ketawang.

Hmmm….Bedhaya Ketawang? Tarian apa ya sebenarnya….katanya sich mistis, katanya sich sakral banget, katanya sich sereeeeemmmmmm…..eits, udah katanya-katanya…sekarang belajar bareng aja yuk tentang tari Bedhaya Ketawang dan segala katanya-katanya itu…biar nggak Cuma katanya…

Sebagai sajian atau pertunjukan khusus pada acara tingalan jumenengan dalem tari bedhaya ketawang merupakan salah satu tarian yang sarat akan makna dan cerita tersendiri. Ada asap, pasti ada apinya….seperti itu pula, ada tarian pasti juga ada proses penciptaannya. Pada awalnya, bedhaya dan srimpi di keraton adalah termasuk tarian khusus untuk pasamuwan agami. Hal ini terlihat dari lambatnya tetabuhan gamelan dan lemah gemulai serta tajamnya (khusuknya) penari. Menurut cerita yang saya tau, tari tersebut pada jaman dahulu adalah tari untuk persembahan di candi atau punden. Ditarikan oleh para perawan sebagai sarana untuk memuja dewa Siwa, Wisnu, atau Brahma. Candi atau punden hanya dibangun atas perintah raja, jadi yang menari di tempat tersebut diperkirakan adalah para abdi dalem.

Sekarang sudah beda lagi jamannya, masuknya ajaran-ajaran agama menyebabkan penyembahan terhadap dewa sudah tidak dilakukan lagi. Namun tidak dengan tariannya. Tari tersebut masih tetap dilestarikan hingga sekarang sebagai kekayaan budaya di Indonesia. Jika kita memperhatikan tari bedhaya ketawang, ada beberapa hal yang unik dan menarik untuk dipelajari. Seperti telah disebutkan di awal, tari bedhaya ketawang berfungsi sebagai tari upacara pada saat peristiwa tingalan jumenengan dalem atau ulang tahun tahta raja.

Sebenarnya apa sich bedhaya ketawang itu….

clip_image002

clip_image004 clip_image006

Bedhaya ketawang disebut juga tarian langit, yang menurut Kitab Wedhapradangga, diciptakan Sultan Agung (1613-1645), seusai mendengar tetembangan dari tawang (langit). Sehingga, secara harfiah, bedhaya ketawang berasal dari ambedhaya (menari) dan tawang. Bedhaya ketawang merupakan suatu upacara yang berupa tarian dengan tujuan pemujaan dan persembahan kepada Sang Pencipta.

Asal-usul Tari Bedhaya Ketawang

Asal mulanya tari Bedhaya Ketawang hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Dalam perkembangan selanjutnya, tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang amat sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang. Berbeda dengan tarian lainnya, Bedhaya Ketawang ini semula khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta Hadiningrat. Iramanya pun terdengar lebih luruh (halus) dibanding dengan tari lainnya semisal Srimpi, dan dalam penyajiannya tanpa disertai keplok-alok (tepuk tangan dan perkataan).
Dikatakan tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya, seperti Bedhaya Gending Ketawang Ageng (Karya Penembahan Senapati), Bedhaya gending Tejanata dan Sinom (karya PB IX), Bedhaya Pangkur (karya PB VIII), Miyanggong (karya PB IV), Duradasih (karya PB V), dan lainnya. Siapa sebenarnya pencipta tari Bedhaya Ketawang itu sendiri sampai sekarang memang masih simpang siur. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa tarian ini sengaja diciptakan langsung oleh Kanjeng Ratu Kidul khusus untuk raja-raja Jawa.

Bedoyo Ketawang misalnya menurut Sinuhun Paku Buwono X menggambarkan lambang cinta kasihnya Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati. Ini semua terlukis dalam gerak gerik tangan, langkah kaki, dan seluruh bagian tubuh para penari. Namun semuanya tergambar dengan begitu halus sehingga cukup sulit bagi orang awam untuk memahaminya. Segala gerak dalam tarian ini melambangkan melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi. Walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana (Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan). Sinuhun tidak mau menuruti kehendak Sang Ratu, karena masih ingin mencapai “sangkan paran“, namun beliau masih mau memperistri Kanjeng Ratu Kidul, turun temurun. Kemudian terjadilah Perjanjian/Sumpah Sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun temurun atau raja-raja penerus. Sehingga siapa saja raja yang bertahta atas Jawa otomatis akan beristri Kanjeng Ratu Kidul. Sebaliknya bahkan Kanjeng Ratu Kidul yang diminta datang ke daratan untuk mengajarkan tarian Bedhaya Ketawang pada penari-penari kesayangan Sinuhun. Satu sumber menyebutkan bahwa tari ini diciptakan oleh Penembahan Sanapati-Raja Mataram pertama-sewaktu bersemadi di Pantai Selatan. Ceritanya, dalam semadinya Penembahan Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari. Selanjutnya, penguasa laut Selatan ini mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.

Sumber lainnya menyebutkan bahwa tari Bedhaya Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (cucu Panembahan Senapati). Menurut Kitab Wedhapradangga yang dianggap pencipta tarian ini adalah Sultan Agung (1613-1645), raja terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut Selatan. Ceritanya, ketika Sultan Agung sedang bersemadi, tiba-tiba mendengar alunan sebuah gending. Kemudian Sultan Agung berinisatif menciptakan gerakan-gerakan tari yang disesuaikan dengan alunan gending yang pernah didengar dalam alam semadinya itu. Akhirnya, gerakan-gerakan tari itu bisa dihasilkan dengan sempurna dan kemudian dinamakan tari Bedhaya Ketawang.

Mitologi dan Peraturan dalam Tari Bedhaya Ketawang

Tari bedhaya ketawang adalah sebuah tari yang amat disakralkan dan hanya dipentaskan pada waktu-waktu tertentu saja. Bedhaya ketawang ada dua jenis, yaitu bedhaya ketawang alit yang dipentaskan setiap tahun pada acara tingalan Jumenengan Dalem dan durasinya hanya 1,5 jam. Satu lagi yaitu bedhaya ketawang ageng yang dipentaskan setiap 8 tahun sekali atau sewindu sekali. Tari bedhaya ketawang ageng bisa berdurasi sekitar 5,5 jam dan berlangung hingga pukul 01.00 pagi. Orang yang menyaksikannya pun adalah orang-orang tertentu yang telah terpilih. Selama menyaksikan tari tersebut, hadirin harus dalam keadaan khusuk, semedi, dan hening. Jadi hadirin tidak boleh berbicara atau makan, dan hanya boleh diam dan menyaksikan gerakan demi gerakan sang penari.

Pada awalnya di keraton Surakarta Hadiningrat, tarian ini hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Namun karena tarian ini dianggap tarian khusus yang dianggap sakral, jumlah penari kemudian ditambah menjadi sembilan orang. Sembilan penari terdiri dari delapan puteri yang masih ada hubungan darah dan kekerabatan dari keraton dan seorang penari gaib yang dipercaya sebagai sosok Nyai Roro Kidul. Konon, setiap kali bedhaya ketawang ditarikan, Nyai Roro Kidul selalu hadir, ikut menari. Namun tidak setiap orang dapat melihatnya, hanya bagi mereka yang peka saja Sang Ratu menampakkan diri. Tak heran jika kemudian muncul aturan ketat bagi seluruh orang yang terlibat dalam tarian ini baik pada masa latihan maupun waktu pementasan. Hal ini dikarenakan mereka akan bersentuhan langsung dengan Nyi Roro Kidul yang dipercaya sebagai pencipta tarian tersebut. Bahkan, menurut orang yang percaya, Kanjeng Ratu Kidul sendiri yang datang akan turun membetulkan apabila ada gerakan tari yang salah. Ada juga yang percaya Dalam tari Bedaya Ketawang, Nyai Ratu Kidul menggandakan dirinya menjadi namawatrika (sembilan dewi ibu alam semesta). (percaya tidak percaya, itu tergantung diri kita masing-masing…)

Nah….sebelum dilaksanakan tarian ini ada beberapa laku atau aturan yang juga disebut juga upacara ritus yang harus dipenuhi oleh keraton dan para penarinya. Adapun yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :

Ø Untuk Keraton harus melakukan upacara atau ritus Labuhan atau Larungan (persembahan korban) yang berupa sesaji di 4 titik ujung/titik mata angin disekitar keraton. Disini keraton diibaratkan sebagai pusat Kosmis dari dunia dan keempat titik penjuru melambangkan alam semesta, letak geografis dan mitologis keempat titik tersebut adalah:

1. Di Bagian Utara terdapat Gunung Merapi dengan penguasa Kanjeng ratu Sekar,

2. Di Daerah Selatan terdapat Segoro Kidul atau laut kidul dengan penguasa Nyi Rara Kidul,

3. Bagian Barat terdapat Tawang Sari kahyangan ndlpih dengan penguasa Sang Hyang Pramori (Durga di hutan Krendowahono),

4. Dibagian Timur terdapat Tawang Mangu dengan Argodalem Tirtomoyo sebagai penguasa dan Gunung Lawu dengan Kyai Sunan lawu sebagai penguasanya.

Ø Selain itu putri-putri yang ikut menari diwajibkan masih Perawan (belum menikah), tidak dalam keadaan haid dan menjalankan puasa tertentu sebelum melakukan tarian. Ada sumber yang menyebutkan bahwa khusus bagi anak raja boleh sudah menikah tetapi harus memasang sesaji tertentu (caos dhahar), begitu juga bagi penari yang sedang haid boleh ikut menari setelah memasang sesaji untuk Kanjeng Ratu Kidul.

Pada malam hari anggara kasih yaitu ke 9 penari termasuk nyai rara kidul yang diyakini memasuki sitihinggil dengan arah Pradaksina disekitar sultan/raja, mereka itu perlambang cakrawala dan membuat formasi nawagraha, perbintangan kartika : 2 + 5 + 2. Atas irama gamelan para penari melambangkan peredaran tata tertip kosmis azali yang teratur : kemudian bagaimana tata tertip tersebut menjadi kacau dan kemudian dipulihkan lagi. Tembang yang dinyanyikan melambangkan Re-integrasi tata dunia dalam tata asli transendia dan lama tarian yang dimainkan sekitar 5,5 jam kadang sampai jam 01:00 malam (pada bedhaya ketawang ageng).

Pola bedhaya Ketawang berhubungan dengan astronomi, yaitu mengikuti pola perbintangan (rasi bintang) yang dikenal dan dianut masyarakat Jawa untuk keperluan sehari-hari (menentukan musim, bertani, dan sebagainya). Beberapa pola rasi bintang yang digunakan adalah gubug penceng dan waluku.

Busana dalam tari bedhaya ketawang menggunakan dhodhot ageng pengantin Jawa yang disebut basahan. Menggunakan gelung bokor mengkurep yang berukuran lebih besar daripada gaya Yogyakarta. Penyajian tari tersebut diawali dari pembukaan (15 menit), bagian inti (60 menit), dan penutup (15 menit). Pertama bagian pembukaan, menceritakan kala Kanjeng Ratu Kidul keluar dari istana dan bertemu Panembahan Senopati, yang memintanya membantu kerajaan yang kalut. Ia mau membantu dengan syarat Senopati harus menjadi suaminya. Kedua bagian inti, menceritakan adegan percintaan Penembahan Senopati dan Ratu Kidul, yang sempat mengabaikan negeri walau akhirnya diingatkan Ki Juru Martani (penasihat kerajaan) untuk kembali ke Mataram. Ketiga bagian penutup, menceritakan tangisan atas kerinduan mendalam dan ungkapan cinta Kanjeng Ratu Kidul, yang bersumpah tidak akan mencari laki-laki lain, kecuali Raja Mataram. Dia juga berjanji mengabdi dan menjadi istri Raja Mataram hingga turun-temurun, hingga kini.

Bedhaya ketawang tidak menggunakan iringan gamelan lengkap. Instrumen yang digunakan hanya kethuk, kenong, kendhang ageng, ketipung, dan kemanak. Gerongan ketawang ageng menjadi bagian pokok dalam pengiring. Gerongan ini disajikan secara koor (dibawakan oleh lebih dari satu sindhen dan dinyanyikan bersama-sama). Ada satu instrumen unik yang mendapat perhatian khusus, yaitu kemanak. Kemanak adalah instrumen yan berbentuk seperti pisang, tetapi berlubang bagian tengahnya (bayangkan lobang pada kenthongan), berjumlah sepasang. Dimainkan dengan cara dipukul secara bergantian. Suasana yang ditimbulkan oleh perpaduan antara kemanak dan gerongan berkesan tintrim, wingit, dan angker. Walaupun instrumen pengiring bedhaya Ketawang sederhana, namun tidak mudah untuk dimainkan.

Permainan keseluruhan instrumen membutuhkan konsentrasi tinggi. Hal ini disebabkan karena permainan gendhing ini berkesan monoton meskipun ada perubahan irama dari lambat menuju cepat, sehingga menyebabkan para pengrawit mengantuk dan akibatnya akan mengacaukan permainan gendhing tersebut.

Demikianlah salah satu kekayaan tarian di Indonesia khususnya di Jawa. Mengenai kepercayaan-kepercayaan yang ada dalam tarian itu tergantung dari pembaca semua boleh percaya atau tidak. Yang pasti itulah salah satu khasanah budaya yang harus kita jaga bersama agar tidak sampai punah atau ditinggalkan oleh generasi penerus. Semoga bermanfaat….

sumber : ringkasan dari berbagai sumber

Posted on 09/07/2011, in Adat Istiadat and tagged , , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar